Melempem di Premier League! Paradoks Amorim di MU: Gacor di Liga Europa, Tapi
Ada yang menggelitik dari langkah Manchester United musim ini. Tim sebesar Setan Merah, dengan sejarah panjang dan kebanggaan mendalam, justru memperlihatkan dua wajah dalam satu musim. Satu penuh cahaya di pentas Eropa, satunya lagi buram di dalam negeri IDNSCORE.
Di balik garis putih lapangan, seorang pelatih muda asal Portugal sedang diuji tak hanya soal taktik, tapi juga soal takdir.
Liga Europa: Ketika MU Menari dengan Irama yang Padu
Semifinal leg pertama Liga Europa jadi panggung pembuktian. MU melumat Athletic Bilbao 3-0 di San Mames—markas yang biasanya sulit ditaklukkan, kini malah dibungkam dalam senyap.
Casemiro membuka keunggulan dengan sundulan tegas di menit ke-30. Tak lama, Bruno Fernandes menggila. Dua gol cepat di menit ke-37 dan ke-45 melengkapi malam yang sempurna. Tiga gol di babak pertama. Tiga pesan kepada dunia: bahwa MU belum habis.
Dalam sembilan laga Liga Europa bersama Amorim, MU belum sekalipun mencicipi pahitnya kekalahan. Tujuh kali menang, dua kali imbang. Lyon, Sociedad, FCSB, Rangers, Plzen, Bodo/Glimt—semuanya ditundukkan satu per satu. Tak ada yang mampu membendung langkah mereka.
Ada semacam energi berbeda saat MU bermain di Eropa. Mereka tampil seolah-olah beban di pundak terangkat, seolah-olah di Liga Europa mereka adalah dirinya sendiri.
Premier League: Ketika Realitas Kembali Menjewer
Tapi begitu kembali ke Premier League, segalanya berubah. Data tidak berbohong: 23 pertandingan, hanya 6 kemenangan, 6 imbang, dan 11 kali kalah. Produktivitas? 27 gol. Kebobolan? 35. Pertahanan seperti jaring yang sudah lapuk, dan serangan kerap tumpul di saat krusial.
Apa yang terjadi?
Ada yang mengatakan ini soal intensitas Premier League yang tak kenal ampun. Ada pula yang berbisik soal adaptasi Amorim yang belum tuntas. Tapi yang pasti, performa MU di liga tak mampu mencerminkan ambisi klub sebesar mereka.
Mereka terseok, tertatih, dan seringkali hilang arah.
Liga Europa: Jalan Terakhir yang Menentukan
Kini Liga Europa bukan sekadar ajang pelipur lara. Ia menjelma jadi jalur hidup atau mati. Satu-satunya cara MU bisa mencicipi Liga Champions musim depan. Satu-satunya cara musim ini punya arti. Dan satu-satunya kesempatan Amorim membungkam keraguan yang mulai menggema dari tribun hingga media sosial.
Tugasnya berat, tapi tidak mustahil. Karena justru di titik inilah pelatih diuji: bukan saat menang besar, tapi saat dipaksa bangkit dari keterpurukan yang dalam.
Dua Wajah, Satu Pertanyaan Besar
Mengapa satu pelatih bisa membawa kemenangan mutlak di Eropa tapi tertatih di kandang sendiri? Apakah Amorim lebih cocok di kompetisi knockout ketimbang liga panjang yang menguras konsistensi? Atau ini hanya persoalan waktu?
Jawabannya belum jelas. Tapi publik tak sabar menanti.
Sebab sepak bola, seperti hidup, sering bermain-main dengan ironi. Di satu sisi, ada euforia dan optimisme. Di sisi lain, ada kesunyian yang menghantui.
Melempem di Kesimpulan: Menanti Babak Akhir
Ruben Amorim datang membawa harapan. Tapi seperti matahari di balik awan, sinarnya belum benar-benar menyinari semua sisi. Liga Europa adalah kesempatan terakhir—dan mungkin yang terbaik—untuk menyelamatkan musim, menyelamatkan reputasi, dan menyelamatkan kepercayaan.
Apakah MU akan merayakan trofi atau justru kembali menatap musim panas dengan wajah penuh tanda tanya?
Jawabannya akan muncul dalam beberapa pekan ke depan. Tapi untuk sekarang, satu hal jelas: paradoks ini nyata. Dan sejarah sedang menulis babak yang menentukan.
Leave a Reply