Joao Felix: Barcelona Hingga Madrid, AC Milan Setara
Di tengah hiruk pikuk bursa transfer, satu kalimat bisa mengubah arah angin. Joao Felix, pria Portugal berusia seperempat abad itu, menyebut AC Milan sejajar dengan Barcelona dan Real Madrid. Bukan sanjungan biasa, melainkan pengakuan yang keluar dari mulut seorang pesepakbola yang pernah mencicipi aroma kerasnya La Liga dan tajamnya Premier League IDNSCORE.
Ketika San Siro Memanggil
Joao Felix tak datang tiba-tiba. Ia tak nyasar ke Milan. Ia tahu ke mana harus melangkah saat jalan terasa kabur. Sejak lama, diam-diam ia sudah menyimpan rasa. Bukan cinta pada pandangan pertama, tapi kekaguman yang tumbuh dari layar kaca, dari siaran pertandingan yang ia tonton jauh sebelum tawaran itu datang.
“Saya sudah lama mengikuti Milan,” ujarnya singkat, tapi dalam.
Pada Januari lalu, ia resmi berlabuh ke San Siro dari Chelsea, dengan status pinjaman tanpa opsi permanen. Sebuah keputusan yang bukan hanya soal teknis, tapi juga emosional. Di usia 25, saat kebanyakan pemain sibuk mengejar gemerlap, Felix memilih menepi. Menepi ke Milan.
Milan di Matanya: Bukan Klub yang Kehabisan Sejarah
Milan yang kini, mungkin tak seangkuh era Maldini, Shevchenko, atau Kaka. Tapi sejarah tidak pernah benar-benar mati, ia hanya tertidur sejenak. Dan Joao Felix tahu betul, Milan adalah klub yang tidak pernah kehilangan daya tarik.
Dalam pernyataannya, Felix tak segan menempatkan Milan sejajar dengan dua klub raksasa Spanyol: Barcelona dan Real Madrid. Perbandingan yang tidak main-main, sebab dua nama itu bukan sekadar institusi olahraga, tapi simbol kekuasaan sepak bola dunia.
“Milan adalah klub penting di dunia. Mereka satu level dengan Barca dan Madrid,” ucapnya, seolah menyampaikan sesuatu yang selama ini hanya berbisik dalam hati.
Pernyataan ini mengandung ironi. Sebab, justru saat banyak mata meragukan Milan, Felix datang dengan kepercayaan. Saat banyak yang menilai Milan hanya bayang-bayang masa lalu, ia melihat potensi kebangkitan.
Keputusan yang Penuh Risiko, Tapi Sarat Arti
Dalam dunia sepak bola, ada kepindahan yang dilakukan demi uang, ada yang demi menit bermain, dan ada yang karena keyakinan. Felix, tampaknya masuk kategori ketiga. Ia tahu, Milan tak menjanjikan gemerlap London atau prestise Madrid. Tapi di balik itu, ada ruang. Ruang untuk tumbuh. Ruang untuk kembali menjadi dirinya sendiri.
Felix datang bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pemain yang ingin membuktikan bahwa dirinya belum selesai. Dan Milan, adalah panggung yang cukup megah untuk cerita semacam itu.
Milan Bukan Lagi Sekadar Nostalgia
Apa yang membuat Milan masih relevan? Bukan hanya tujuh gelar Liga Champions yang mereka simpan di lemari kaca, tapi juga semangat untuk bangkit yang tak pernah padam. Dalam beberapa musim terakhir, Milan menunjukkan geliat. Mereka menjuarai Serie A 2021/2022, dan kembali menjejak semifinal Liga Champions pada 2022/2023.
Kehadiran pemain muda seperti Rafael Leão, Sandro Tonali (sebelum hijrah), dan kekuatan baru seperti Pulisic memperlihatkan satu hal: Milan sedang membangun ulang jati dirinya. Dan Joao Felix bukanlah tambahan biasa. Ia adalah potongan puzzle yang, jika pas, bisa membuat gambar besar terlihat lebih utuh.
Jalan Panjang yang Masih Misteri
Masa pinjamannya hanya sampai akhir musim. Tidak ada jaminan akan bertahan. Tapi bukankah hidup memang begitu? Tak ada yang pasti, kecuali ketidakpastian itu sendiri. Yang jelas, publik Milan kini punya alasan untuk datang lebih awal ke stadion, menunggu sentuhan magis dari pemain yang pernah digadang sebagai penerus Ronaldo.
Felix bukan tanpa cela. Performanya naik turun, kritik tak jarang menghampiri. Tapi justru itulah yang membuat kisah ini menarik. Karena semua pemain hebat, sebelum menjadi legenda, pernah berada di titik ragu.
Akankah Milan Jadi Rumah Sejati?
Joao Felix dan AC Milan mungkin seperti dua garis yang lama tak bersinggungan, tapi kini saling mendekat. Entah akan bertemu di simpul yang baru, atau kembali menjauh setelah satu musim.
Namun untuk sekarang, cukup kita nikmati. Sebab dalam sepak bola, seperti juga dalam hidup, tak semua hal harus dijawab sekarang. Ada yang cukup dirasakan — seperti sorak penonton saat Felix menyentuh bola pertama kalinya di San Siro. Lembut, namun menggema.
Leave a Reply